Sebenarnya malam ini sungguh kacau. Dia yang bersikap acuh tak acuh kepadaku karena satu kesalahan yang terhitung kecil. Entah apa yang aku lakukan juga sehingga keadaan semakin parah. Dia menyibukan diri dengan pekerjaannya dan aku hanya merengut memendam kekesalan. Perasaan ku semakin kacau, tatkala ambulan berlalu lalang diantara kami.
Aku
sangat benci dengan rumah sakit. Keadaan yang memaksaku untuk disini. Kalau tidak
karena aku cinta dengan dia dan sayang dengan ayahnya mungkin seribu kali aku
berfikir untuk berdiam di sini hingga larut. Sekarang kerjaku hanya menarik dan
membuang nafas sekeras-kerasnya agar dia menghiraukan semua tingkah laku ku. Tapi
lama-lama aku berfikir kalau semua itu hanya sia-sia.
Tapi
apapun yang dilakukan gak akan pernah berakhir sia-sia. Walau yang keluar dari
mulutnya hanya bertanya aku kenapa, seenggaknya tingkah laku aneh ku mendapat
respon. Aku hanya memandang dengan muka kesal. Seperti biasa, dia tak
menghiraukan arti pandanganku. Sikapnya yang acuh akhirnya membuat aku kesal.
Sempat
dia mengataiku ‘batu’ ditanya tapi diam saja. Dan aku mencoba untuk gak
merespon lalu keluarlah gerutuan kecil dari mulutnya. Gak lama dia beranjak
sambil menarik tanganku tanda untuk pergi. Aku marah tapi disatu sisi aku
senang, akhirnya aku bisa pergi dari lorong rumah sakit yang semakin malam
semakin membuatku takut.
Aku
memutuskan untuk bertanya kita mau kemana. Dan dia menjawab dengan nada ketus
bahwa dia akan mengantarku ke halte untuk pulang. Bukan dia tega menelantarkan
aku untuk pulang sendiri. Situasi yang memaksa dia agar tetap di rumah sakit
dan aku mengerti akan hal itu.
Diperjalanan
menuju halte, kami sempat cekcok mulut. Dia yang kesal akan tingkah ku yang
sangat amat childis. Aku yang tidak
merasa seperti itu semakin menjadi-jadi. Beberapa kali dia mengentakan kaki dan
berkata keras tapi tetap saja aku rewel dengan gerutuan yang semakin membuatnya
kesal.
Kadang
aku berfikir, laki-laki ini bisa menjadi sangat kejam akan tingkahnya. Dan benar
saja, saat klimaks-nya perseturuan kita, dan kita sama-sama mulai lelah
akhirnya kita berdua diam. Aku melihatnya sesekali dia mengangkat telpon
genggamnya. Ya, sudah pasti itu dari ayahnya yang sedang menunggu dia kembali
ke kamar rumah sakit untuk meminta tolong sesuatu.
Keadaan
semakin kacau balau dan tak terkendali. Dia pun mulai memandangku dan berkata, ‘Maaf’
lalu berlari meninggalkan ku sebelum kita sampai tujuan. Aku hanya terpaku
melihat punggung itu. Tega banget dia, apa aku yang terlalu egois? Gak minat
untuk pulang, akupun duduk didepan pagar sebuah gedung yang cukup sepi. Seperti
orang depresi aku diam tapi sesekali menangis……..
To Be Continue
No comments:
Post a Comment